Menguatkan Etika Digital: Tantangan dan Solusi Pembelajaran di SMP

Perkembangan teknologi digital yang masif telah membawa kemudahan dan juga kompleksitas baru, terutama di kalangan pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam konteks ini, upaya untuk menguatkan etika digital menjadi sebuah keharusan, bukan lagi pilihan. Para siswa SMP berada pada fase perkembangan krusial, di mana mereka mulai aktif berinteraksi di dunia maya, menggunakan media sosial, dan mengakses informasi tanpa batas. Sayangnya, minimnya pemahaman dan kesadaran mengenai etika berinteraksi di ruang digital sering kali memicu serangkaian tantangan serius, mulai dari kasus perundungan siber (cyberbullying), penyebaran berita palsu (hoax), hingga pelanggaran privasi. Pelanggaran-pelanggaran ini tidak hanya merusak mental korban, tetapi juga menciptakan jejak digital negatif yang dapat memengaruhi masa depan remaja tersebut.

Tantangan utama yang dihadapi sekolah dan orang tua dalam mendidik etika digital terletak pada cepatnya laju perubahan teknologi yang jauh melampaui kurikulum pendidikan konvensional. Data dari Pusat Kajian Digital dan Keamanan Siber (PKD-KS) Universitas Cakrawala menunjukkan bahwa pada semester ganjil tahun ajaran 2024/2025, tercatat 47 kasus pelanggaran etika digital yang melibatkan siswa di tiga SMP Negeri di wilayah Kabupaten Purwamekar. Kasus yang paling dominan adalah ujaran kebencian daring dan penyebaran konten pribadi tanpa izin. Laporan ini, yang dirilis pada tanggal 10 Oktober 2025, menjadi alarm bagi semua pihak. Selain itu, kurangnya pengawasan efektif dari orang tua akibat kesibukan juga menjadi celah yang dimanfaatkan siswa untuk berperilaku tidak etis secara daring. Mayoritas orang tua, menurut survei PKD-KS, merasa kesulitan memahami platform digital yang digunakan anak-anak mereka, sehingga kontrol menjadi longgar.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan solusi pembelajaran yang integratif dan komprehensif. Pertama, sekolah wajib memasukkan materi menguatkan etika digital ke dalam kurikulum secara terstruktur, bukan hanya sebagai topik sampingan. Pembelajaran ini harus mencakup pemahaman mendalam tentang konsep privasi digital, hak cipta, dan dampak hukum dari perbuatan siber. Sebagai contoh, di SMP Budi Luhur, dilakukan kegiatan “Literasi Siber” setiap hari Jumat pagi yang menghadirkan narasumber dari pihak kepolisian, khususnya Unit Siber Polres Purwamekar, yang dipimpin oleh Ajun Komisaris Polisi (AKP) Rio Handoko, S.Kom., M.H., pada bulan November 2025. Sesi ini fokus pada sosialisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan konsekuensi dari tindakan-tindakan seperti doxing atau penyebaran konten asusila.

Kedua, peran guru dan orang tua harus diperkuat sebagai teladan dan mitra. Guru perlu mendapatkan pelatihan secara berkala mengenai tren media sosial dan kasus-kasus etika digital terbaru. Sementara itu, sekolah dapat memfasilitasi lokakarya rutin untuk orang tua, misalnya setiap dua bulan sekali, untuk meningkatkan literasi digital mereka. Lokakarya ini dapat memberikan tips praktis dalam melakukan pengawasan yang sehat dan membangun komunikasi terbuka dengan anak mengenai aktivitas daring mereka. Solusi ketiga adalah dengan mempromosikan budaya digital yang positif di lingkungan sekolah. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong siswa membuat konten digital yang konstruktif dan bertanggung jawab, serta memberikan penghargaan bagi mereka yang menunjukkan praktik digital terbaik. Dengan pendekatan multi-pihak seperti ini, diharapkan upaya untuk menguatkan etika digital di kalangan siswa SMP dapat berjalan optimal. Pada akhirnya, tujuannya adalah membentuk generasi penerus yang tidak hanya cerdas teknologi, tetapi juga bermoral tinggi dalam setiap interaksi di dunia maya.